Minggu, 06 Mei 2012

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL


DEFINISI HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

 

A.    Istilah HPI
 Sebelum masuk dalam pengertian hukum perdata internasional, ada baiknya terlebih dahulu mengulas tentang istilah hukum perdata internasional terlebih dahulu. Istilah Hukum Perdata Internasional awalnya diperkenalkan pertama kali oleh Gouw Giok Song atau Sudargo Gautama pada konsorsium ilmu hukum di Cipanas tahun 1972 / 1973. sebelum istilah HPI di perkenalkan dan digunakan, hukum antar tata hukum bernama Conflict of Laws (Hukum Perselisihan). Menurut Gouw Giok Song, bahwa istilah hukum perselisihan dalam penggunaannya adalah kurang tepat, karena dalam istilah hukum perselisihan ada kesan bahwa seolah-olah ada suatu asosiasi konflik tertentu atau pertentangan tertentu antara sistem-sistem hukum intern. Juga seolah-olah ada konflik antara dua atau lebih perundang-undangan atau sistem hukum yang berlaku. Dan seolah-olah ada perlombaan untuk memberikan semacam prioritas.
 Maka menurut Gouw Giok Song, “Conflict of Laws”, “Hukum Perselisihan” atau “hukum Pertikaian”. Istilah ini juga kurang baik dan sebaiknya jangan dipergunakan lagi. Sebaiknya diganti dengan istilah “Hukum Antar Tata Hukum”, yaitu suatu istilah yang diciptakan Gouw Giok Song dengan mengikuti istilah “Interlegal Law” dari Alf Ross atau “Interrecht Ordenrecht”dari Logeman.[1]  Sedangkan menurut Bayu Seto,:
 Istilah Hukum Perdata Internasional memang dapat dianggap salah kaprah, karena orang berusaha untuk menerjemahkan nya dari istilah-istilah asing seperti internasional privaatrecht (Belanda), internationals privaatrecht (Jerman), private international law (Inggris), atau droit international prive (Perancis). Istilah-istilah yang banyak berasal dari tradisi hukum eropa continental ini kemudian diterjemahkan menjadi Hukum Perdata Internasional.[2]

 Dalam istilah “Hukum Perdata Internasional Indonesia”, dimana istilah “perdata internasional” menunjukkan pada hukum perdata, bukan hukum publik (internasionalnya). Sementara itu kata “Indonesia” menunjuk kepada nasional (Indonesia), bukan internasionalnya. Hal ini menimbulkan perselisihan antara ahli hukum yang akhirnya menimbulkan dua aliran besar dalam HPI yakni, Internasionalistis dan Nasionalistis. Menurut pendapat Sudargo Gautama bahwa, ‘…aliran internasionalistis adalah aliran yang hendak menganggap bahwa kaidah-kaidah  HPI itu sebenarnya bersifat supra nasional ‘.[3]
 Dilihat dari segi teoristis, yaitu masalah perbedaan status personil seseorang dihadapan hukum. Dapat digolongkan menjadi prinsip nasionalitas (kewarganegaraan) dan prinsip domisili (tempat tinggal). Bagi yang pro-nasionalitas mengatakan system nasionalitas lebih baik dari system domisili. Tapi orang yang menganut system domisili, tidak akan membenarkan hal itu. Sebaliknya, orang yang menganut system domisili mengatakan system domisili adalah yang paling baik. Jadi, penganut-penganut dari masing-masing prinsip ini tidak dapat meyakinkan yang satu kepada yang lain bahwa system yang dianutnya adalah yang paling baik.[4]  Untuk Indonesia sendiri menganut system nasionalitas (kewarganegaraan) dasar hukumnya adalah pasal 16 AB.
 
B.     Definisi HPI
 Sangat sulit untuk menemukan suatu perumusan definisi HPI, karena setiap ahli memiliki batasan masisng-masing yang berbeda. Agar dapat memperoleh gambaran yang lebih utuh mengenai pengertian, ruang lingkup serta persoalan utama HPI , maka perlu diperhatikan beberapa pendapat ahli di bawah ini:

Menurut Sudargo Gautama, HPI dirumuskan sebagai berikut:
“…keseluruhan peraturan, dan keputusan yang menunjukkan stelsel hukum mana yang berlaku atau apa yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga (warga) negara pada satu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih Negara, yangt berbeda dengan lingkungan-lingkungan kuasa tempat, (pribadi) dan soal-soal”.[5]

Prof. R.H. Groveson dalam bukunya, Conflict of laws - Private international law, berpendapat bahwa:
‘…Conflict of law atau hukum perdata internasional adalah bidang hukum yang berkenaan dengan perkara-perkara yang dalamnya mengandung fakta relevan yang menunjukkan perkaitan dengan suatu sistem hukum lain, baik karena aspek territorial maupun karena aspek subyek hukumnya, dan karena itu menimbulkan pertanyaan tentang penerapan hukum sendiri atau hukum lain (yang biasanya asing), atau masalah pelaksanaan yuridiksi badan pengadilan sendiri atau badan pengadilan asing’.[6]

Menurut Bayu Seto, Hukum Perdata Internasional adalah “…seperangkat kaidah hukum nasional yang mengatur peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsur-unsur transnasional (atau unsur-unsur ekstra territorial)”.[7]  Sedangkan menurut pendapat Sunaryati Hartono, bahwa HPI mengatur setiap peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsur asing, baik dibidang hukum public maupun hukum privat. Karena inti dari HPI adalah pergaulan hidup masyarakat internasional, maka HPI sebenarnya dapat disebut sebagai Hukum Pergaulan Internasional[8]
Dari beberapa pengertian tentang HPI diatas, terdapat perbedaan antara satu ahli dengan yang lainnya. Terlepas dari perbedaan-perbedaan penekanan dan pendapat diatas. Maka dapat disepakati bahwa HPI selalu mengandung unsur-unsur nasional dan transnasional dengan masalah-masalah pokok yang selalu bersifat transnasional.

C.    Titik-titik Taut
       Titik Taut adalah fakta – fakta di dalam suatu perkara yang bisa menentukan tempat terjadinya perkara tersebut dan hukum mana yang berlaku untuk menyelesaikan perkara tersebut. Titik Taut sendiri di bedakan menjadi dua macam, yang oleh para ahli di jabarkan sendiri menjadi beberapa pengertian.
Dalam bukunya, Dr. Bayu Seto Hardjowahono, S.H., LL.M. berpendapat bahwa Titik Taut juga di bedakan menjadi dua, yaitu :
1.      Titik-Titik Taut Primer ( Primary Points Of Contact ) adalah fakta dalam suatu perkara yang menunjukan unsur asing dan lebih cenderung ke arah hukum Inggris, Italia atau Prancis yang dapat di kategorikan sebagai titik taut primer karena unsur-unsur ( asing ) ini dilihat dari posisi Jerman sebagai forum yang mengadili perkara.
2.      Titik-Titik Taut Sekunder ( Secondary Points Of Contact ) adalah fakta dalam perkara Hukum Perdata Internasional yang akan membantu penentuan hukum manakah yang harus diberlakukan dalam penyelesaian persoalan yang sedang di hadapi. Yang disebut juga titik pertalian penentu karena fungsinya akan menentukan hukum dari tempat manakah yang akan di gunakan sebagai the aplicable law dalam penyelesaian suatu perkara.


Daftar Pustaka
1.     Gautama, Sudargo, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Binacipta, Bandung, 1977.
2.  Seto, Bayu, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, buku kesatu, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
3.    Hartono, Sunaryati, Pokok-pokok Hukum Perdata Internasional, Binacipta, Bandung, 1976
4.      Prihatinah, Tri Lisiani, Materi kuliah Hukum Perdata Internasional, Fakultas Hukum, Unsoed, 2010.



[1] Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, 1977, halaman 7.
[2] Bayu Seto, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, buku kesatu, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, halaman 2 .
[3] Sudargo Gautama, Op. Cit, halaman 2.
[4]  Ibid, halaman  5.
[5]  Ibid, , halaman 21.
[6]  Bayu Seto, Op. Cit, halaman 6.
[7]  Ibid, halaman 8.
[8]  Sunaryati Hartono, Pokok-pokok Hukum Perdata Internasional, halaman 29.

1 komentar:

  1. Dari hukum internasional private diganti jadi hukum perdata internasional karena...... bisa bantu jawab min

    BalasHapus