DEFINISI HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
Sebelum masuk dalam pengertian hukum perdata
internasional, ada baiknya terlebih dahulu mengulas tentang istilah hukum
perdata internasional terlebih dahulu. Istilah Hukum Perdata Internasional
awalnya diperkenalkan pertama kali oleh Gouw Giok Song atau Sudargo Gautama
pada konsorsium ilmu hukum di Cipanas tahun 1972 / 1973. sebelum istilah HPI di
perkenalkan dan digunakan, hukum antar tata hukum bernama Conflict of Laws
(Hukum Perselisihan). Menurut Gouw Giok Song, bahwa istilah hukum perselisihan
dalam penggunaannya adalah kurang tepat, karena dalam istilah hukum
perselisihan ada kesan bahwa seolah-olah ada suatu asosiasi konflik tertentu
atau pertentangan tertentu antara sistem-sistem hukum intern. Juga seolah-olah
ada konflik antara dua atau lebih perundang-undangan atau sistem hukum yang
berlaku. Dan seolah-olah ada perlombaan untuk memberikan semacam prioritas.
Maka menurut Gouw Giok Song, “Conflict of
Laws”, “Hukum Perselisihan” atau “hukum Pertikaian”. Istilah ini juga kurang
baik dan sebaiknya jangan dipergunakan lagi. Sebaiknya diganti dengan istilah
“Hukum Antar Tata Hukum”, yaitu suatu istilah yang diciptakan Gouw Giok Song
dengan mengikuti istilah “Interlegal Law” dari Alf Ross atau “Interrecht
Ordenrecht”dari Logeman.[1]
Sedangkan menurut Bayu Seto,:
Istilah Hukum Perdata Internasional memang
dapat dianggap salah kaprah, karena orang berusaha untuk menerjemahkan nya dari
istilah-istilah asing seperti internasional privaatrecht (Belanda),
internationals privaatrecht (Jerman), private international law (Inggris), atau
droit international prive (Perancis). Istilah-istilah yang banyak berasal dari
tradisi hukum eropa continental ini kemudian diterjemahkan menjadi Hukum
Perdata Internasional.[2]
Dalam istilah “Hukum Perdata Internasional
Indonesia”, dimana istilah “perdata internasional” menunjukkan pada hukum
perdata, bukan hukum publik (internasionalnya). Sementara itu kata “Indonesia”
menunjuk kepada nasional (Indonesia), bukan internasionalnya. Hal ini
menimbulkan perselisihan antara ahli hukum yang akhirnya menimbulkan dua aliran
besar dalam HPI yakni, Internasionalistis dan Nasionalistis. Menurut pendapat
Sudargo Gautama bahwa, ‘…aliran internasionalistis adalah aliran yang hendak
menganggap bahwa kaidah-kaidah HPI itu
sebenarnya bersifat supra nasional ‘.[3]
Dilihat dari segi teoristis, yaitu masalah
perbedaan status personil seseorang dihadapan hukum. Dapat digolongkan menjadi
prinsip nasionalitas (kewarganegaraan) dan prinsip domisili (tempat tinggal).
Bagi yang pro-nasionalitas mengatakan system nasionalitas lebih baik dari
system domisili. Tapi orang yang menganut system domisili, tidak akan
membenarkan hal itu. Sebaliknya, orang yang menganut system domisili mengatakan
system domisili adalah yang paling baik. Jadi, penganut-penganut dari
masing-masing prinsip ini tidak dapat meyakinkan yang satu kepada yang lain
bahwa system yang dianutnya adalah yang paling baik.[4]
Untuk Indonesia sendiri menganut system nasionalitas (kewarganegaraan)
dasar hukumnya adalah pasal 16 AB.
Sangat sulit untuk menemukan suatu perumusan
definisi HPI, karena setiap ahli memiliki batasan masisng-masing yang berbeda.
Agar dapat memperoleh gambaran yang lebih utuh mengenai pengertian, ruang
lingkup serta persoalan utama HPI , maka perlu diperhatikan beberapa pendapat
ahli di bawah ini:
Menurut Sudargo Gautama, HPI dirumuskan
sebagai berikut:
“…keseluruhan
peraturan, dan keputusan yang menunjukkan stelsel hukum mana yang berlaku atau
apa yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara
warga (warga) negara pada satu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik
pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih
Negara, yangt berbeda dengan lingkungan-lingkungan kuasa tempat, (pribadi) dan
soal-soal”.[5]
Prof. R.H. Groveson dalam bukunya,
Conflict of laws - Private international law, berpendapat bahwa:
‘…Conflict
of law atau hukum perdata internasional adalah bidang hukum yang berkenaan
dengan perkara-perkara yang dalamnya mengandung fakta relevan yang menunjukkan
perkaitan dengan suatu sistem hukum lain, baik karena aspek territorial maupun
karena aspek subyek hukumnya, dan karena itu menimbulkan pertanyaan tentang
penerapan hukum sendiri atau hukum lain (yang biasanya asing), atau masalah
pelaksanaan yuridiksi badan pengadilan sendiri atau badan pengadilan asing’.[6]
Menurut Bayu
Seto, Hukum Perdata Internasional adalah “…seperangkat kaidah hukum nasional
yang mengatur peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsur-unsur
transnasional (atau unsur-unsur ekstra territorial)”.[7]
Sedangkan menurut pendapat Sunaryati Hartono, bahwa HPI mengatur setiap
peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsur asing, baik dibidang hukum
public maupun hukum privat. Karena inti dari HPI adalah pergaulan hidup
masyarakat internasional, maka HPI sebenarnya dapat disebut sebagai Hukum
Pergaulan Internasional[8]
Dari beberapa pengertian tentang HPI
diatas, terdapat perbedaan antara satu ahli dengan yang lainnya. Terlepas dari
perbedaan-perbedaan penekanan dan pendapat diatas. Maka dapat disepakati bahwa
HPI selalu mengandung unsur-unsur nasional dan transnasional dengan
masalah-masalah pokok yang selalu bersifat transnasional.
Titik Taut adalah fakta – fakta di dalam suatu perkara yang bisa
menentukan tempat terjadinya perkara tersebut dan hukum mana yang berlaku untuk
menyelesaikan perkara tersebut. Titik Taut sendiri di bedakan menjadi dua
macam, yang oleh para ahli di jabarkan sendiri menjadi beberapa pengertian.
Dalam bukunya, Dr. Bayu Seto
Hardjowahono, S.H., LL.M. berpendapat bahwa Titik Taut juga di bedakan menjadi
dua, yaitu :
1. Titik-Titik
Taut Primer ( Primary Points Of Contact ) adalah fakta dalam suatu perkara yang
menunjukan unsur asing dan lebih cenderung ke arah hukum Inggris, Italia atau
Prancis yang dapat di kategorikan sebagai titik taut primer karena unsur-unsur
( asing ) ini dilihat dari posisi Jerman sebagai forum yang mengadili perkara.
2. Titik-Titik
Taut Sekunder ( Secondary Points Of Contact ) adalah fakta dalam perkara Hukum
Perdata Internasional yang akan membantu penentuan hukum manakah yang harus
diberlakukan dalam penyelesaian persoalan yang sedang di hadapi. Yang disebut
juga titik pertalian penentu karena fungsinya akan menentukan hukum dari tempat
manakah yang akan di gunakan sebagai the aplicable law dalam penyelesaian suatu
perkara.
Daftar Pustaka
1. Gautama, Sudargo, Pengantar Hukum
Perdata Internasional, Binacipta, Bandung, 1977.
2. Seto, Bayu, Dasar-Dasar Hukum Perdata
Internasional, buku kesatu, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
3. Hartono, Sunaryati, Pokok-pokok Hukum
Perdata Internasional, Binacipta, Bandung, 1976
4. Prihatinah, Tri Lisiani, Materi kuliah
Hukum Perdata Internasional, Fakultas Hukum, Unsoed, 2010.
[2] Bayu
Seto, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, buku kesatu, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001, halaman 2 .